Assalamu 'alaikum wr. wb.

Jumat, 09 Januari 2015

MASJID dan EKONOMI UMMAT


Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Al-Jumu’ah). Tragis. Hasil survey ICMI belum lama ini menunjukkan bahwa 89.9% masjid di Indonesia sepi. Sementara di sisi lain, pembangunan masjid terus-menerus dilakukan di berbagai tempat dan wilayah. Ditambah dengan proses renovasi dan pengembangan masjid yang menurut para pengurusnya sudah tidak bisa menampung jama’ah khusus ketika jum’atan. Itulah faktanya, masjid hanya dipenuhi oleh jamaah ketika sholat jum’at saja, selebihnya dibiarkan kosong.
Ada fenomena lain yang merebak di beberapa daerah yang padat oleh kompleks perumahan yaitu pasar kaget. Lalu apa hubungannya antara masjid dengan pasar kaget ? Berkembangnya pasar kaget dan mall bisa dikatakan karena adanya daya tarik luar biasa bagi masyarakat, baik bagi yang belanja atau yang hanya jalan-jalan. Jadi, jika suatu tempat ingin ramai dan hidup, maka hendaklah pengelola tempat tersebut membuat berbagai daya tarik yang bisa mengundang orang untuk mendatanginya. Apa yang bisa dijadikan daya tarik ? Pasti yang berkaitan dengan keinginan atau kebutuhan.
Pada era dimana materialisme menguasai pola pikir manusia, maka tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang adalah sentra-sentra usaha atau sentra-sentra bisnis. Pasar kaget adalah sentra usaha kecil, mall adalah sentra usaha menengah dan kawasan industri adalah sentra usaha besar, termasuk perkantoran. Dengan kata lain, semuanya adalah sentra perekonomian masyarakat. Secara syari’ah, ekonomi adalah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan dan syariah pun telah memberikan motivasi yang sangat besar untuk pengembangan ekonomi ini. Oleh karenanya, adalah sangat mungkin menjadikan masjid (juga) sebagai sentra perekonomian masyarakat disamping sentra ibadah.
Penyempitan Fungsi dan Peran Masjid
Fungi dan peran masjid semakin menyempit seiring dengan terpuruknya kaum mulmin dalam kancah peradaban manusia. Bahkan, fungsi utama masjid sebagai tempat ibadah pun semakin lama semakin sempit seiring penyempitan makna ibadah yang dipahami oleh sebagian besar kaum muslimin. Mayoritas masjid, terlebih lagi musholla, hanya digunakan untuk sholat wajib saja. Selebihnya dibiarkan kosong bahkan ditutup rapat dan dikunci. Misalnya,sangat sedikit masjid yang digunakan untuk I’tikaf (mabit), kalaupun ada, maka jamaahnya niscaya hanya beberapa orang saja.
Demikian juga fungsi masjid sebagai pusat ilmu dan dakwah. Adalah ironis jika masjid yang megah dengan biaya pembangunan yang besar tetapi dibiarkan kosong. Sementara, masyarakat berteriak-teriak dengan minimnya gedung-gedung sekolah atau banyaknya sekolah yang tidak layak untuk belajar anak-anak. Hal ini terjadi karena sempitnya kaum muslimin dalam memahami kewajiban belajar atau menuntut ilmu. Seakan-akan, belajar dan menuntut ilmu itu hanya dilakukan di sekolah saja. Masjid tidak boleh digunakan untuk mencari ilmu dunia, masjid hanya boleh digunakan untuk mencari akhirat saja. Sehingga kalaupun ada aktivitaas belajar di masjid, mayoritas adalah anak-anak yang belajar membaca al-Qur’an, ibu-ibu majelis ta’lim yang belajar sholawat dan rawi atau bapak-bapak yang  belajar fiqh ibadah sekitar thoharoh dan sholat, dengan jumlah yang sangat sedikit.
Hal ini pun berdampak pada perhatian dan kebutuhan kaum muslimin terhadap ilmu. Untuk masalah ilmu yang terkait dengan keduniaan, dimanapun dan berapapun biaya yang harus dikeluarkan, tidak merasa keberatan. Tetapi, untuk kebutuhan ilmu yang terkait dengan agama dan akhirat yang dilaksanakan di masjid atau oleh pengurus masjid, maka mereka memandangnya sebelah mata, atau merasa begitu berat jika harus mengeluarkan biaya, meskipun sangat kecil dibandingkan dengan biaya kebutuhan ilmu dunia. Alasan mereka adalah menuntut ilmu agama harus ikhlas, tidak boleh komersial dan cukup dipenuhi dari zakat dan shadaqah saja yang jumlahnya pasti sangat minim.
Hal yang sama pun terjadi pada fungsi dan peran masjid sebagai pusat dakwah dan pembinaan umat. Dakwah dimaknai secara sempit sebagai tabligh saja. Pemahaman ini berdampak pada jarangnya frekuensi dakwah di masjid. Dakwah hanya dimaknai dengan peringatan hari-hari besar kaum muslimin dan khutbah Jum’at saja. Penyempitan makna dakwah sekaligus berdampak pada pandangan kaum muslimin terhadap da’i. Karena dakwah adalah tabligh, maka da’i adalah muballigh. Inilah faktor penyebab utama mandulnya dakwah dalam membimbing umat ke arah yang lebih baik.
Mengembalikan Fungsi dan Peran Masjid
Masjid memiliki peranan besar dalam seluruh dimensi kehidupan umat Islam. Masjid merupakan symbol yang menggambarkan peta kekuatan mereka, yang menyatukan perkataan mereka, dan mewujudkan setiap makan kebaikan. Tanap masjid, persatuan kaum muslimin akan mudah dipatahkan dan mereka akan bercerai berai.
Imam Ibnu Taymiyah mengatakan dalam Majmu Fatawa bahwa masjid adalah tempat berkumpulnya para pemimpin. Rasulullah saw mendirikan masjid berlandaskan ketakwaan kepada Allah SWT, di dalamnya ada sholat, tilawah al-Qur’an, pengajaran ilmu, khutbah, politik, penyematan panji dan bendera, pengangkatan pemimpin dan pendalaman makrifat. Di sana, kaum muslimin membahas urusan agama dan dunia mereka. Jadi selain berfungsi sebagai tempat ibadah dan dakwah, masjid juga memiliki fungsi sosial ekonomi dan kemasyarakatan, fungsi politik dan pemerintahan, fungsi jihad dan kemiliteran dan lainnya. Fungsi dan peran masjid yang multiaspek ini telah berjalan sejak zaman Rasulullah saw dan para sahabat dan seterusnya hingga masa kekhilafahan Islam berakhir.
Upaya untuk mengembalikan fungsi dan peran masjid tidak bisa dilakukan secara sekaligus, tetapi harus secara bertahap. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengembalikan fungsi utama masjid dengan benar yaitu tempat ibadah secara komperehensif dan integral, tempat dakwah dengan makna luas dan tempat menuntut ilmu secara menyeluruh. Dakwah bukan hanya tabligh pada waktu-waktu tertentu, tetapi dakwah secara terpadu menyeru, mengajak dan membangun/mengembangkan masyarakat dalam berbagai bidang. Halaqah-halaqah (kelompok) majelis ilmu untuk membangun fikroh atau cara berpikir umat sehingga ilmu apapun yang mereka pelajari dan dapatkan, baik yang berkaitan dengan duniawi atau ukhrowi,senantiasa dibingkai oleh cara pikir Islami. Dengan fikroh Islami yang benar, maka dalam menjalankan fungsi masjid sebagai tempat ibadah pun akan diterapkan secara baik dan benar. Ibadah bukan hanya sholat wajib, tetapi banyak ibadah lain yang bisa dikerjakan dimasjid mulai dari tilawah al-Qur’an, sholat-sholat sunnah, I’tikaf (mabit) dan sebagainya.
Fungsi dan Peran Masjid dalam Pengembangan Masyarakat
Masjid sebagai pusat dakwah dan pembinaan umat. Konteks yang paling relevan dalam mekanisme dakwah dan pembinaan umat adalah pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Paradigma dakwah tidak hanya dalam konteks tabligh atau pergerakan, tetapi dakwah juga mencakup pengembangan ekonomi masyarakat. Dakwah sebagai metode sosialisasi dan kaderisasi umat memiliki kesamaan dengan konsep pengembangan masyarakat. Hal ini didukung minimal dengan dua hal yaitu :
1.      Dari segit tujuan, dakwah dan pengembangan masyarakat memiliki keterkaitan yang saling menguatkan. Dakwah dimaksudkan untuk mewujudkan kebaikan dan kemajuan hidup di dunia dan akhirat. Hal ini pula yang ingin dicapai dengan pengembangan masyarakat (community development).
2.      Dari segi metode dan pendekatan, dakwah dan pengembangan masyarakat saling melengkapi satusama lain. Membanguna masyarakat bukan hanya pada satu aspek, tetapi harus dilakukan secara komprehensif baik sisi lahir atau batin. Dakwah integral disamping berfungsi menjaga dan membangun spiritualitas dan moralitas masyarakat, juga ikut mendorong pembangunan masyarakat pada aspek fisik. Dengan kata lain, dakwah pun memotivasi masyarakat agar mengembangkan ekonomi dengan bingkai syariah dan ibadah.
Dengan paradigm dakwah sebagai fungsi pengembangan masyarakat, lebih mengedepankan aksi daripada wacana atau retorika (tabligh). Pada tahapan ini, berbagai upaya dan metode dari mazhab apapun bisa diterapkan sesuai dengan konsep partisipatory dalam pengembangan masyarakat. Dalam hjal ini da’I harus memiliki pemahaman fiqh yang luas (tidak fanatic) sehingga model masyarakat bagaimanapun bisa menerimanya.



IED-News
DA’I BERDAYA
Para da’I fii sabilillah yang bergelut dengn dakwah ilallah jarang mendapat perhatian dari berbagai pihak. Berbeda dengan para muballigh kondang yang banyak digandrungi masyarakat, sehingga mereka berani memberikan kafalah yang cukup besar bahkan terkesan “bertarif” alias komersial. Sementara para guru TPA/Diniyyah, pengelola dan pengasuh pesantren, para guru agama di pelosok desa harus menerima istilah “ikhlas” dalam melaksanakan tugasnya, sehingga mereka banyak yang hidup dalam kesederhanaan kalau tidak mau disebut kekurangan.
Oleh karenanya, salah satu program IED yang dikembangkan Mimbar Ziswaf adalah Bea Asatidz Fii Sabilillah.  Disamping memberikan subsidi operasional bagi pondok pesantren Mimbar Huffazh, beaasatidz juga diberikan kepada para da’i yang menjadi mentor di berbagai sekolah dalam bentuk subsidi kafalah. Di samping itu, TPA yang langsung dikelola secara Cuma-Cuma baik di pesantren atau di kantor Al-Mimbar.
Program terakhir yang digulirkan adalah program pemberdayaan dana ZISWAF melalui  Home Industry (usaha berbasis rumahan) yang di kelola oleh Korp, Da’i Al-Mimbar yang akan di jadikan Pilot Projek pengembangan Ekonomi berbasis komunitas di Kabupaten Bekasi.

Bagi Anda yang ingin Berjihad dengan HARTA,,, Hubungi Al-Mimbar : 021.88369143 - 081386368414