Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung. (Al-Jumu’ah). Tragis. Hasil survey ICMI belum lama ini menunjukkan bahwa
89.9% masjid di Indonesia sepi. Sementara di sisi lain, pembangunan masjid
terus-menerus dilakukan di berbagai tempat dan wilayah. Ditambah dengan proses
renovasi dan pengembangan masjid yang menurut para pengurusnya sudah tidak bisa
menampung jama’ah khusus ketika jum’atan. Itulah faktanya, masjid hanya
dipenuhi oleh jamaah ketika sholat jum’at saja, selebihnya dibiarkan kosong.
Ada fenomena lain yang merebak di beberapa daerah yang padat
oleh kompleks perumahan yaitu pasar kaget. Lalu apa hubungannya antara masjid
dengan pasar kaget ? Berkembangnya pasar kaget dan mall bisa dikatakan karena
adanya daya tarik luar biasa bagi masyarakat, baik bagi yang belanja atau yang
hanya jalan-jalan. Jadi, jika suatu tempat ingin ramai dan hidup, maka
hendaklah pengelola tempat tersebut membuat berbagai daya tarik yang bisa
mengundang orang untuk mendatanginya. Apa yang bisa dijadikan daya tarik ?
Pasti yang berkaitan dengan keinginan atau kebutuhan.
Pada era dimana materialisme menguasai pola pikir manusia,
maka tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang adalah sentra-sentra usaha atau
sentra-sentra bisnis. Pasar kaget adalah sentra usaha kecil, mall adalah sentra
usaha menengah dan kawasan industri adalah sentra usaha besar, termasuk
perkantoran. Dengan kata lain, semuanya adalah sentra perekonomian masyarakat.
Secara syari’ah, ekonomi adalah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan
dan syariah pun telah memberikan motivasi yang sangat besar untuk pengembangan
ekonomi ini. Oleh karenanya, adalah sangat mungkin menjadikan masjid (juga)
sebagai sentra perekonomian masyarakat disamping sentra ibadah.
Penyempitan Fungsi dan
Peran Masjid
Fungi dan peran masjid semakin menyempit seiring dengan
terpuruknya kaum mulmin dalam kancah peradaban manusia. Bahkan, fungsi utama
masjid sebagai tempat ibadah pun semakin lama semakin sempit seiring
penyempitan makna ibadah yang dipahami oleh sebagian besar kaum muslimin.
Mayoritas masjid, terlebih lagi musholla, hanya digunakan untuk sholat wajib
saja. Selebihnya dibiarkan kosong bahkan ditutup rapat dan dikunci. Misalnya,sangat
sedikit masjid yang digunakan untuk I’tikaf (mabit), kalaupun ada, maka
jamaahnya niscaya hanya beberapa orang saja.
Demikian juga fungsi masjid sebagai pusat ilmu dan dakwah.
Adalah ironis jika masjid yang megah dengan biaya pembangunan yang besar tetapi
dibiarkan kosong. Sementara, masyarakat berteriak-teriak dengan minimnya
gedung-gedung sekolah atau banyaknya sekolah yang tidak layak untuk belajar
anak-anak. Hal ini terjadi karena sempitnya kaum muslimin dalam memahami kewajiban
belajar atau menuntut ilmu. Seakan-akan, belajar dan menuntut ilmu itu hanya
dilakukan di sekolah saja. Masjid tidak boleh digunakan untuk mencari ilmu
dunia, masjid hanya boleh digunakan untuk mencari akhirat saja. Sehingga
kalaupun ada aktivitaas belajar di masjid, mayoritas adalah anak-anak yang
belajar membaca al-Qur’an, ibu-ibu majelis ta’lim yang belajar sholawat dan rawi
atau bapak-bapak yang belajar fiqh ibadah
sekitar thoharoh dan sholat, dengan jumlah yang sangat sedikit.
Hal ini pun berdampak pada perhatian dan kebutuhan kaum
muslimin terhadap ilmu. Untuk masalah ilmu yang terkait dengan keduniaan,
dimanapun dan berapapun biaya yang harus dikeluarkan, tidak merasa keberatan. Tetapi,
untuk kebutuhan ilmu yang terkait dengan agama dan akhirat yang dilaksanakan di
masjid atau oleh pengurus masjid, maka mereka memandangnya sebelah mata, atau
merasa begitu berat jika harus mengeluarkan biaya, meskipun sangat kecil
dibandingkan dengan biaya kebutuhan ilmu dunia. Alasan mereka adalah menuntut ilmu
agama harus ikhlas, tidak boleh komersial dan cukup dipenuhi dari zakat dan
shadaqah saja yang jumlahnya pasti sangat minim.
Hal yang sama pun terjadi pada fungsi dan peran masjid
sebagai pusat dakwah dan pembinaan umat. Dakwah dimaknai secara sempit sebagai
tabligh saja. Pemahaman ini berdampak pada jarangnya frekuensi dakwah di
masjid. Dakwah hanya dimaknai dengan peringatan hari-hari besar kaum muslimin
dan khutbah Jum’at saja. Penyempitan makna dakwah sekaligus berdampak pada
pandangan kaum muslimin terhadap da’i. Karena dakwah adalah tabligh, maka da’i
adalah muballigh. Inilah faktor penyebab utama mandulnya dakwah dalam
membimbing umat ke arah yang lebih baik.
Mengembalikan Fungsi
dan Peran Masjid
Masjid memiliki peranan besar dalam seluruh dimensi kehidupan
umat Islam. Masjid merupakan symbol yang menggambarkan peta kekuatan mereka,
yang menyatukan perkataan mereka, dan mewujudkan setiap makan kebaikan. Tanap
masjid, persatuan kaum muslimin akan mudah dipatahkan dan mereka akan bercerai
berai.
Imam Ibnu Taymiyah mengatakan dalam Majmu Fatawa bahwa masjid
adalah tempat berkumpulnya para pemimpin. Rasulullah saw mendirikan masjid
berlandaskan ketakwaan kepada Allah SWT, di dalamnya ada sholat, tilawah
al-Qur’an, pengajaran ilmu, khutbah, politik, penyematan panji dan bendera,
pengangkatan pemimpin dan pendalaman makrifat. Di sana, kaum muslimin membahas
urusan agama dan dunia mereka. Jadi selain berfungsi sebagai tempat ibadah dan
dakwah, masjid juga memiliki fungsi sosial ekonomi dan kemasyarakatan, fungsi
politik dan pemerintahan, fungsi jihad dan kemiliteran dan lainnya. Fungsi dan
peran masjid yang multiaspek ini telah berjalan sejak zaman Rasulullah saw dan
para sahabat dan seterusnya hingga masa kekhilafahan Islam berakhir.
Upaya untuk mengembalikan fungsi dan peran masjid tidak bisa
dilakukan secara sekaligus, tetapi harus secara bertahap. Langkah pertama yang
harus dilakukan adalah mengembalikan fungsi utama masjid dengan benar yaitu
tempat ibadah secara komperehensif dan integral, tempat dakwah dengan makna
luas dan tempat menuntut ilmu secara menyeluruh. Dakwah bukan hanya tabligh
pada waktu-waktu tertentu, tetapi dakwah secara terpadu menyeru, mengajak dan
membangun/mengembangkan masyarakat dalam berbagai bidang. Halaqah-halaqah
(kelompok) majelis ilmu untuk membangun fikroh atau cara berpikir umat sehingga
ilmu apapun yang mereka pelajari dan dapatkan, baik yang berkaitan dengan
duniawi atau ukhrowi,senantiasa dibingkai oleh cara pikir Islami. Dengan fikroh
Islami yang benar, maka dalam menjalankan fungsi masjid sebagai tempat ibadah
pun akan diterapkan secara baik dan benar. Ibadah bukan hanya sholat wajib,
tetapi banyak ibadah lain yang bisa dikerjakan dimasjid mulai dari tilawah
al-Qur’an, sholat-sholat sunnah, I’tikaf (mabit) dan sebagainya.
Fungsi dan Peran Masjid
dalam Pengembangan Masyarakat
Masjid sebagai pusat dakwah dan pembinaan umat. Konteks yang
paling relevan dalam mekanisme dakwah dan pembinaan umat adalah pengembangan
dan pemberdayaan masyarakat. Paradigma dakwah tidak hanya dalam konteks tabligh
atau pergerakan, tetapi dakwah juga mencakup pengembangan ekonomi masyarakat.
Dakwah sebagai metode sosialisasi dan kaderisasi umat memiliki kesamaan dengan
konsep pengembangan masyarakat. Hal ini didukung minimal dengan dua hal yaitu :
1. Dari segit tujuan, dakwah dan
pengembangan masyarakat memiliki keterkaitan yang saling menguatkan. Dakwah
dimaksudkan untuk mewujudkan kebaikan dan kemajuan hidup di dunia dan akhirat.
Hal ini pula yang ingin dicapai dengan pengembangan masyarakat (community
development).
2. Dari segi metode dan pendekatan,
dakwah dan pengembangan masyarakat saling melengkapi satusama lain. Membanguna
masyarakat bukan hanya pada satu aspek, tetapi harus dilakukan secara
komprehensif baik sisi lahir atau batin. Dakwah integral disamping berfungsi
menjaga dan membangun spiritualitas dan moralitas masyarakat, juga ikut
mendorong pembangunan masyarakat pada aspek fisik. Dengan kata lain, dakwah pun
memotivasi masyarakat agar mengembangkan ekonomi dengan bingkai syariah dan
ibadah.
Dengan paradigm dakwah sebagai fungsi pengembangan
masyarakat, lebih mengedepankan aksi daripada wacana atau retorika (tabligh).
Pada tahapan ini, berbagai upaya dan metode dari mazhab apapun bisa diterapkan
sesuai dengan konsep partisipatory dalam pengembangan masyarakat. Dalam hjal
ini da’I harus memiliki pemahaman fiqh yang luas (tidak fanatic) sehingga model
masyarakat bagaimanapun bisa menerimanya.
IED-News
DA’I BERDAYA
Para da’I fii sabilillah yang bergelut dengn dakwah ilallah
jarang mendapat perhatian dari berbagai pihak. Berbeda dengan para muballigh
kondang yang banyak digandrungi masyarakat, sehingga mereka berani memberikan
kafalah yang cukup besar bahkan terkesan “bertarif” alias komersial. Sementara
para guru TPA/Diniyyah, pengelola dan pengasuh pesantren, para guru agama di
pelosok desa harus menerima istilah “ikhlas” dalam melaksanakan tugasnya,
sehingga mereka banyak yang hidup dalam kesederhanaan kalau tidak mau disebut
kekurangan.
Oleh karenanya, salah satu program IED yang dikembangkan
Mimbar Ziswaf adalah Bea Asatidz Fii Sabilillah. Disamping memberikan subsidi operasional bagi
pondok pesantren Mimbar Huffazh, beaasatidz juga diberikan kepada para da’i
yang menjadi mentor di berbagai sekolah dalam bentuk subsidi kafalah. Di samping
itu, TPA yang langsung dikelola secara Cuma-Cuma baik di pesantren atau di
kantor Al-Mimbar.
Program terakhir yang digulirkan adalah program pemberdayaan
dana ZISWAF melalui Home Industry (usaha
berbasis rumahan) yang di kelola oleh Korp, Da’i Al-Mimbar yang akan di jadikan
Pilot Projek pengembangan Ekonomi berbasis komunitas di Kabupaten Bekasi.
Bagi Anda yang ingin Berjihad dengan HARTA,,, Hubungi Al-Mimbar : 021.88369143 - 081386368414