A.
Prolog
Ulum
al-hadits adalah salah
satu bidang ilmu yang penting dalam Islam. Mempelajarinya adalah fardhu
al-kifayah bagi kaum muslimin. Dengan hadits sebagai objek kajiannya,
disiplin ilmu ini menjadi hal yang urgen untuk dipelajari. Sebagaimana
diketahui, dalam tasyri’ al-islamy, hadits adalah sumber hukum yang
kedua setelah al-Quran. Pun, penerimaan hadits sebagai sumber ajaran dan hukum
Islam merupakan bentuk realisasi keimanan kepada Nabi Muhammad Saw., selain
karena hadits itu sendiri yang menurut Muhammad ‘Ajaj al-Khatib minimal
mempunyai tiga fungsi terhadap al-Quran:
Pertama: Menegaskan kembali keterangan atau perintah yang terdapat di
dalam al-Quran, atau yang dikenal juga dengan bayan taqrir, dalam hal
ini hadits datang sebagai keterangan atau perintah yang sejalan dengan
kandungan ayat al-Quran.
Kedua: Menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang datang secara mujmal,
‘am, dan muthlaq.
Ketiga: Menetapkan hukum-hukum yang tidak ditetapkan oleh al-Quran, atau
yang disebut juga dengan bayan tasyri’ seperti hadits Nabi yang
menetapkan haramnya binatang buas dan penetapan beberapa diyat.
Dari itu,
mengingat pentingnya Ulum al-Hadits, penulis mencoba untuk menjawab
pertanyaan- pertanyaan seputar ilmu
ini, seperti sejak kapan istilah ini mulai dikenal? Apakah ia sudah ada seiring
adanya hadits-hadits Rasulullah Saw.? Siapa pencetus pertamanya? Bagaimana
perkembangannya sampai kita mengetahuinya seperti keadaannya sekarang? Penulis
berusaha merangkum itu semua dalam makalah yang kami beri judul ‘Perkembangan Ulum
al-Hadits; Dalam Bentang Sejarah.’
B.
Munculnya Ulum al-Hadits
Di tiga abad pertama Islam
belum dikenal dengan apa yang dinamakan Ulum al-Hadits,
belum juga istilah-istilah lain yang semakna.
Namun pada dasarnya, Ulum al-Hadits telah lahir sejak dimulainya
periwayatan hadits di dalam Islam, terutama setelah Rasulullah Saw. wafat,
ketika umat merasakan perlunya menghimpun hadits-hadits Rasulullah Saw. Hal ini
disebabkan adanya kekhawatiran hadits-hadits tersebut akan hilang atau lenyap.
Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadits. Mereka
telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu dalam
menerima hadits, hanya saja kaidah-kaidah dan metode-metode itu belum
dibukukan.
Kehati-hatian dalam menerima hadits ini sudah ada ketika Rasulullah Saw. masih
hidup, seperti apa yang dilakukan oleh Umar Ra. ketika mendengar orang yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah menceraikan isteri-isterinya, atau
metode meminimalisir periwayatan dengan cara meminta saksi terhadap orang yang
meriwayatkan hadits yang terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq Ra.,
Umar Ibn al-Khattab Ra., dan Utsman Ibn Affan Ra.. Bahkan pada masa Ali Ra.
Selain meminta saksi, beliau juga meminta orang yang meriwayatkan hadits untuk
bersumpah.
Kehati-hatian ini kian meningkat seiring munculnya kasus-kasus pemalsuan
hadits dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Diantara hal yang
dilakukan itu adalah dengan membahas sanad hadits serta penelitian terhadap
keadaan setiap para perawi. Aktivitas ini terlihat dari penjelasan Muhammad Ibn
Sirin, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam muqaddimah kitab Shahihnya
yang mengatakan bahwa para ulama hadits sebelumnya tidak pernah mempertanyakan
tentang keadaan sanad hadits, namun setelah terjadi peristiwa fitnah antara Ali
dengan Muawiyah, maka mulailah para ulama hadits mempertanyakan tentang itu.
Mereka tidak akan menerima hadits kecuali dari orang yang dipercaya agamanya
dan diyakini akan hapalan dan pemeliharaannya terhadap hadits yang
diriwayatkannya. Sebaliknya, jika orang-orang yang meriwayatkan hadits itu
adalah ahli bid’ah, maka mereka tidak mengambilnya.
Berdasarkan hal ini, maka suatu berita
tidak bisa diterima kecuali setelah diketahui sanad-nya. Karena itu
muncullah ilmu jarh wa ta’dil, ilmu mengenai ucapan para perawi, cara
untuk mengetahui bersambung (muttashil) atau terputusnya (munqathi’) sanad,
mengetahui cacat-cacat yang tersembunyi. Muncul pula ucapan-ucapan (sebagai
tambahan dari hadits) sebagian perawi meskipun sangat sedikit karena masih
sedikitnya para perawi yang tercela pada masa-masa awal.
Kemudian para ulama dalam bidang itu
semakin banyak, hingga muncul berbagai pembahasan di dalam banyak cabang ilmu
yang terkait dengan hadits, baik dari aspek ke-dhabithan-nya, tata cara
menerima dan menyampaikannya, pengetahuan tentang hadits-hadits yang nasikh
(menghapus) dari hadits-hadits yang di mansukh (dihapus), pengetahuan
tentang hadits-hadits yang gharib (asing/menyendiri), dan lain-lain.
Semua itu masih disampaikan ulama secara lisan. Lalu, masalah itu semakin
berkembang. Lama kelamaan ilmu hadits ini mulai ditulis dan dibukukan, akan
tetapi masih terserak diberbagai tempat di dalam kitab-kitab lain yang
bercampur dengan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu ushul fiqh. Contohnya dalam kitab Ar-Risalah.
Seiring bertambahnya waktu, akhirnya,
ilmu-ilmu itu semakin matang, mencapai puncaknya dan memiliki istilah
tersendiri yang terpisah dengan ilmu-ilmu lainnya. Ini terjadi pada abad
keempat hijriyah disaat para ulama menyusun ilmu musthalah dalam
kitab tersendiri.
C.
Pengertian Ulum al-Hadits dan Pembagiannya
Ulum al-Hadits adalah jumlah
idhofiyyah. Berasal dari dua kalimah, ulum dan al-hadits. Secara
etimologi ulum adalah bentuk jama’ dari ‘ilmu artinya pengetahuan.
Sedangkan al-hadits berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan
dari kata al-Qadim (sesuatu yang lama), juga bermakna khabar (kabar
atau berita), bentuk jama’nya
adalah al-ahadits. Adapun menurut terminologi, ulama ahlu al-hadits,
ahlu al-ushul dan fuqaha memberikan pengertian yang berbeda-beda.
Ahlu al-Hadits
mendefinisikan hadits sebagai, “Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi
Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal
Nabi.” Menurut
istilah ahlu al-ushul, hadits adalah, “Segala sesuatu yang dikeluarkan
dari Nabi selain al-Quran al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan maupun
taqriri Nabi yang bersangkut paut dengan hukum syara.” Sedangkan
menurut para fuqaha, hadits mempunyai arti, “Segala sesuatu yang
ditetapkan Nabi Saw. yang tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu
atau wajib.”
Dari pengertian diatas, dapat diartikan bahwa
makna dari ulum al-hadits adalah, “Ilmu untuk mengetahui tentang apa yang
telah dimufakati oleh ahli hadits dan telah lazim dipergunakan dalam pembahasan
di antara mereka,” atau “Ilmu untuk mengetahui ‘uruf pada muhadditsin.”
Adapun pembagiannya, secara garis besar Ulum al-Hadits ini dipecah kepada dua
macam yaitu: ‘Ilmu al-Hadits Riwayah dan ‘Ilmu al-Hadits Dirayah.
‘Ilmu al-Hadits Dirayah membahas hadits dari segi diterima atau
tidaknya, sedang ‘Ilmu al-Hadits Riwayah membahas materi hadits itu
sendiri. Diantara ulama ada yang menamakan ‘Ilmu
al-Hadtis dengan ‘Ilmu Usul al-Hadist atau ‘Ilmu Musthalah
al-Hadist. Dan dalam perkembangan berikutnya
telah lahir berbagai cabang ilmu hadits.
D.
Ulumul Hadits
dari Masa ke Masa
Layaknya sunnah
alam lainnya, Ulum al-Hadits juga mengalami perkembangan dari waktu ke
waktu. Bila Nur al-Din ‘Itr membagi perkembangan Ulum al-Hadits dari
permulaan penyusunannya sampai sekarang menjadi tujuh tahap
dan Muhammad Dede Rodliyana dalam tesisnya membagi perkembangannya menjadi tiga
periode,
maka kami mencoba membaginya menjadi tiga masa.
Pertama:
Masa kenabian sampai akhir abad ke III HIjriyah.
Pada masa
kenabian, Ulum al-Hadits telah muncul lewat kegiatan nabi dan para
sahabatnya. Dalam kegiatan transformasi hadits, mereka melakukannya dengan
teliti dan hati-hati dengan cara memperhatikan sanad dan matan,
lebih-lebih ketika mereka mempunyai keragu-raguan tentang transformator.
Fenomena tersebut dilanjutkan oleh tabi’in dan para pengikut tabi’in
yang pada masa ini telah muncul apa yang diungkapkan oleh Ibnu Sirin yang
tertera dalam Muqaddimah Shahih Muslim “Mereka tidak menanyakan isnad,
maka ketika timbul fitnah mereka berkata: sebutkan pada kami tokoh-tokoh
kalian, bila mereka ahlu al-sunah maka mereka mengambil haditsnya dan
bila melihat ahli bid’ah maka mereka tidak mengambil hadits ahli bid’ah
tersebut”.
Dalam studi
Ulum al-Hadits akan ditemukan juga bahwa para ulama telah membuat
periodisasi dalam pembukuan hadis (tadwin al-hadits), yaitu pertama: Periode
al-Wahyu wa al-Takwin, yakni periode pembentukan hadits, dimulai sejak
zaman Nabi Muhammad Saw. diangkat menjadi Rasul samapai beliau wafat
(610-632M/11H). Kedua: Periode Taqlil al-Riwayah, yaitu periode meminimalisir
periwayatan hadits, dimulai sejak Rasulullah Saw. wafat (632M/11H) sampai
pemerintahan Umar bin Khattab Ra. (632-644M/13-23H). Ketiga: Periode Intisyar al-Riwayah, yaitu periode
tersebarnya hadits, dimulai sejak pemerintahan Utsman bin Affan Ra.
(644-656M/23-35H) sampai masa pemerintahan Khalifah Bani Umayah sebelum
Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M/99-101H). Kempat: Periode Tadwin,
yaitu periode pembukuan hadits, dimulai sejak pemerintahan Umar bin Abdul Aziz
(717-720M/99-101 H). Kelima: Periode Tanqih , yaitu periode
penyeleksian terhadap hadits yang dipelopori oleh Imam al-Bukhari (194-256H)
dan keenam periode Syarah, yaitu periode penjelasan atas
kitab-kitab hadits hasil tanqih.
Sampai
akhir abad ke III ini, walaupun norma-norma umumnya telah muncul sejak adanya
usaha pengumpulan dan penyeleksian hadits oleh masing-masing penulis
hadits, belum ditemukan satu kitab yang
berisi pembahasan Ulum al-Hadits secara komprehensif sampai nanti tibanya abad
ke IV H.
Kedua: Abad ke IV Hijriyah sampai Abad ke IX Hijriyah
Ulum al-Hadits yang juga populer dengan sebutan Mushthalah
al-Hadits secara komprehensif, disusun tanpa dicampur dengan disiplin ilmu
lainnya, pertama kali dibuat oleh al-Qadhi Abu Muhammad al-Ramahurmuzi (wafat 360
H.). Karya monumental ini berjudul al-Muhaddits al-Fashil baina al-Rawi wa
al-Waqi’. Dalam kitabnya itu, al-Ramahurmuzi menghimpun sebanyak 904
riwayat, yang diriwayatkannya dari
sekitar 200 gurunya dengan sistematika penulisan yang dibagi menjadi 16 bab dan
terpecah-pecah lagi ke beberapa qawl, fashal dan mas’alah. Dan secara umum,
pembahasan Ulum al-Hadits yang ditawarkan al-Ramahurmuzi sebagaimana yang
dikritik oleh Ibnu Hajar yaitu masih sangat terfokus terhadap kajian sanad,
dengan sedikit kajian matan. Kecendrungan itu dibuktikan dengan banyaknya
pembahasan tentang sifat dan keadaan para periwayat. Selain itu, dalam kitab
tersebut, tidak menjelaskan secara khusus tentang pembagian hadits, baik dari
segi kuantitas atau dari segi kualitas.
Di akhir abad ke IV hingga abad ke V Hijriyah, secara urut lahirlah
beberapa karangan Ulum al-Hadits, seperti kitab Ma’rifat Ulum al-Hadits
(al-Hakim Abu Abdulllah al-Naysaburi, 405 H.), al-Mustkhraj ala Ma’rifat
Ulum al-Hadits (Abu Nu’aim al-Ashfahani, 430 H.), dan al-Jami’
li Adabi asy-Syaikh wa as-Sami’ (al-Khatib
Abu Bakar al-Baghdadi, 463 H.) Dari semua karangan yang ada ini, walau belum
terlalu banyak perubahan dalam sistematika penyusunannya, lahir istilah yang
sama sekali belum ada dalam literatur awal seperti definisi tentang shahabat,
tabi’in, riwayat mauquf, mu’dhol, mu’an’an, munqathi’, dll.
Lalu lahirlah Al-Ilma’ ila Ma’rifah Ushul
al-Riwayah wa Taqyid al-Sima’I yang disusun oleh Al-Qadhi
‘Iyadh (544 H). Kitab ini belum mencakup seluruh pembahasan Ulum al-Hadits,
bahkan hanya terbatas pada persoalan yang berhubungan dengan tata cara penerimaan
dan penyampaian hadits dan cabang-cabangnya, akan tetapi sangat bagus sekali
bab pembahasan dan sistematika serta urutan-urutannya.
Abad ke VII Hijriyah sosok Abu Amr Ibn
Utsman Ibn Shalah (643 H.) yang menjadi pemeran utama sekaligus bintangnya ulama
Ulum al-Hadits abad itu. Karyanya yang berjudul Ma’rifah Ulum
al-Hadits atau yang lebih populer dengan nama Muqaddimah Ibnu Shalah, dianggap
sebagai karya terbesar dalam bidang Ulum al-Hadits. Kitab yang disusun
atas dasar keperluan mengajar di Madrasah al-Asyrafiyyah Damaskus
tersebut mencakup keterangan-keterangan yang terdapat pada kitab sebelumnya dan
mencakup seluruh cabang Ulum al-Hadits. Pemaparan yang sangat baik
terlihat ketika menyimpulkan kaidah-kaidah dan pendapat-pendapat yang dikemukakan
oleh ulama sebelumnya, pendefinisian dan penguraian yang sangat jelas dan
lugas, menjadi kelebihan dari kitab monumental ini.
Setelah
lahirnya Muqaddimah Ibn Salah, karangan-karangan sejenis terus
bermunculan. Hanya saja kalau dilihat, karangan-karangan ini lebih banyak men-syarah
atau mengomentari atau meringkas kitab-kitab yang sudah ada. Seperti
al-Taqrib oleh Imam Nawawi (676 H.)yang merupakan syarah dari Muqaddimah Ibn
Salah. lalu al-Taqrib disyarah lagi oleh Imam as-Suyuthi (911 H.) dalam
Tadrib al-Rawi. Sebagaimana halnya kitab Muqaddimah Ibnu ash-Sholah
ini diringkas oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Ikhtishor Ulum al-Hadits.
Ketiga; Ulum al-Hadits di Masa Modern
Setelah sebelumnya mengalami stagnasi yang cukup
lama, yakni dari abad ke X sampai awal abad ke XVI, Ulum al-Hadits
mengalami kebangkitan lagi. Lahir karya-karya yang menonjolkan sistematika
penyusunan yang sesuai dengan sistematika modern. Hal ini dilatarbelakangi oleh
konflik yang terjadi antara Timur dan Barat yang menyentuh tataran teologis,
sehingga melahirkan ghirah untuk membahas seputar informasi
tersebut guna menyanggah kesalahan dan kedustaan mereka sebagai bentuk
mempertahankan keberadaan sunnah. Selain itu adanya tuntutan pembaharuan
sistematika penyusunan kitab-kitab Ulum al-Hadits yang lebih
komprehensif dan sesuai dengan zamannya.
Pada periode ini, selain munculnya kitab-kitab Ulum
al-Hadits, juga muncul kajian Ulum al-Hadits secara khusus, yang
lebih menitikberatkan pada pemikiran, baik yang berkaitan dengan sejarah,
metode, kritik, atau pertahanan terhadap berbagai tuduhan yang dilontarkan
untuk menilai sunnah.
Pemikiran Ulum al-Hadits pada periode ini
dimulai dengan munculnya tokoh Jamal al-Din al-Qasimi yang menyusun Qawa’id
al-Tahdits min Funun Mushtholah al-Hadits, kemudian Ushul
al-Hadits Ulumuhu wa Mushtholahuhu oleh Muhammad ‘Ajaj bin al-Khatib, Manhaj
al-Naqd fi Ulum al-Hadits oleh Nur al-Din Itr, Taysir Mushtholah
al-Hadits oleh Mahmud al-Thahhan, Ulum al-Hadits wa Mushtholahuhu
karya Subhi al-Shalih, Qawa’id Ushul al-Hadits karya Umar Hasyim, Mafatih
Ulum al-Hadits wa Thuruq Takhrijuh karya Muhammad Utsman al-Khasysyit.
E.
Cabang-cabang Ulum al-Hadits
Sebagaimana yang ditetapkan oleh disiplin Ulum
al-Hadits bawa hadits tidak akan diterima kecuali setelah sanad di
ketahui, maka muncul beberapa Ulum al-Hadits yang merupakan
cabang-cabang dari Ulum al-Hadits, diantaranya:
1. Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil: ilmu yang membahas tentang hal ihwal
keadilan dan tidak adilnya para periwayat. Dari para sahabat yang banyak mengkaji
ilmu ini adalah seperti Ibnu Abbas (w. 68 H.), Ubadah bin Shamit (w. 34 H.),
dan dari tabi’in seperti al-Sya’bi (w. 104 H.). Akan tetapi mula-mula penulisan tentang karya
ilmu ini ketika masuk abad ketiga hijriyah sebagaimana dilakukan oleh
Yahya ibnu Muin (w. 233 H.), Ahmad bin Hambal (w. 241 H.), al-Bukhari (w. 256 H.),
Muslim (w. 261 H.), Abu Dawud (w. 275 H.), al-Nasa’i (w. 303 H.)
2. Ilmu Ma’rifat al-Shahabah;
yaitu ilmu yang bisa mengetahui hadits muttashil dan mursal
seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar Ahmad bin Abdullah bin Abdu al-Rahim bin
Said Ibnu al-Barqi (w. 270 H.), Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Isa al-Marwazi
al-Syafi’i (w. 293 H.)
3. Ilmu Sejarah Rawi,
yaitu ilmu untuk mengetahui sejarah para periwayat hadits dan hal ihwalnya.
Demikian seperti kitab al-Tarikh al-Kabir karya al-Bukhari.
4. Ilmu Ma’rifat al-Asma’ wa
al-Kuna wa al-Alqab; yaitu yang untuk mengetahui nama, kuniah,
dan laqab para periwayat seperti yang dilakukan oleh Imam Muslim, al-Nasa’i,
dan Ahmad bin Hambal.
5. Ilmu Muhtalaf al-Hadits;
yaitu penyelarasan antara hadits yang dhahirnya bertentangan. Orang
pertama yang berbicara tentang ilmu ini adalah Imam As-Syafi’i.
6. ilmu Ma’rifat Gharib al-Hadits;
ilmu yang menjelaskan makna-makna sebagian kalimat yang tidak jelas yang
dilakukan oleh Abu Ubaidah Muammar bin al-Mutsanna al-Tamimi (w. 210 H.) dan
Abu Ubaid al-Qosim Ibn al-Salam (w. 224 H.)
7. ilmu Ma’rifat Ilal al-Hadits;
illat adalah ibarat tentang sebab yang tidak jelas dan merusak keabsahan
hadits. Kadangkala illat ini dimaksudkan dengan makna yang tidak sesuai
dengan terminologinya seperti masalah dusta periwayat, kelalaian dan hafalan
yang tidak baik dari periwayat. ahli hadits yang mengkaji masalah ini
diantaranya Imam bin Hambal, al-Bukhari, Muslim dan al-Tarmidzi.
8. al-Masyikhat; yaitu
mencakup para syaikh yang ditemui oleh pengarang kitab yang mana beliau telah
mengambil dari mereka dan memberi ijazah kepadanya meski dia tidak bertemu
mereka, sebagaimana karya Abi Yusuf Ya’kub bin Sufyan Ibnu Hibban (w. 277 H.).
9. al-Thabaqat; ilmu
yang mencakup tentang para syaikh, hal-ihwalnya dan periwatannya dari masa ke
masa hingga masa pengarang kitab seperti “Thabaqat al-Ruwat” karya Abu Amr
Khalifah bin Khayyath (w. 230 H.).
10. Ilmu
Rijal al-Hadits, yaitu ilmu yang
membahas tokoh-tokoh yang berperan dalam periwayatan hadits.
11. Ilmu Fan al-Mubhamat, yaitu ilmu yang
membahas tentang orang-orang yang tidak nampak peranannya dalam periwayatan
suatu hadits.
12. Ilmu Tashif
wa al-Tahrif, yaitu ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang
berubah titik atau bentuknya.
13. Ilmu Asbabi
Wurudil Hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang sebab timbulnya suatu
hadits.
Pada dasarnya ilmu hadits itu mencakup berbagai macam
cabang ilmu yang mencapai seratus macam dan tiap satu macam mempunyai disiplin
ilmu yang independen. Oleh karena itu, apabila seorang pengkaji menghabiskan
usianya niscaya tidak akan menggapai akhirnya.
F.
Perkembangan Ulum al-Hadits di Indonesia; Adakah?
Melacak perkembangan pemikiran Islam di Indonesia,
tidak akan bisa dipisahkan dari perkembangan hubungan antara umat Muslim di
Kepulauan Nusantara ini dengan pusat pendidikan Islam di Timur Tengah,
khususnya pada abad ke-17 dan ke-18 yang merupakan masa yang paling dinamis
dalam sejarah sosio-intelektual kaum Muslim.
Disamping itu perkembangan selanjutnya yang cukup penting adalah sejak
pertengahan abad ke-19 tersebut, banyak sekali anak-anak muda Indonesia yang
tinggal menetap bertahun-tahun di di Makkah dan Madinah untuk memperdalam
pengetahuan agama mereka. Bahkan diantaranya menjadi ulama yang terkenal dan
mengajar disana. Oleh karenanya sekembali mereka ke tanah air, apa yang telah
mereka dapatkan dan pelajari, diamalkan dan disebarkan di Nusantara. Pada akhir
abad ke-19 terdapat beberapa ulama kelahiran Jawa yang diakui kebesarannya di
Timur Tengah. Mereka belajar, menetap, kemudian menjadi pengajar di Masjid
al-Haram di Makkah, seperti Syaikh Nawawi al-Bantani (Banten) dan Syaikh
Mahfudz al-Turmusi (Tremas).
Tak terkecuali dengan perkembangan pemikiran Ulum
al-Hadits di Indonesia. Peran pengaruh pendidikan ulama Indonesia di Timur
Tengah sangat signifikan, khususnya mereka yang menetap di haramayn, akan
tetapi dalam disiplin Ulum al-Hadits, harus diakui, karya-karya yang
dihasilkan oleh ulama-ulama Indonesia masih sangat sedikit, sehingga untuk
melacak informasi kekuatan dan pemikiran Ulum al-Hadits di Indonesia
cukup sulit. Sampai awal abad ke-20
hanya ada karya Syaikh Mahfuzh yaitu Manhaj Dzawi al-Nazhar, yang
merupakan kitab syarh terhadap karya al-Suyuthi yaitu Manzhumah Ilm
al-Atsar.
Karya yang dibuat oleh Syaikh Mahfuzh ini menjadi
awal lahirnya karya-karya lain di bidang Ulum al-Hadits. Setelah itu
bermunculan kitab-kitab seperti ‘Ilm Mushthalah al-Hadits (Mahmud Yunus,
w. 1973 M.), Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits/Pokok-pokok Ilmu Dirayah
Hadits (Muhammad Hasby al-Shiddiqy, w. 1975 M.), Ilmu Mushthalah Hadits
(A. Qadir Hasan, w. 1984 M.), Pengantar Ilmu Hadits/Metodologi Penelitian
Hadits/ Kaidah Kesahihan Sanad Hadits/Hadits Menurut Pembela, Pengingkar dan
Pemalsuannya (Muhammad Syuhudi
Ismail, w. 1997 M.), Ikhtishar Mushthalahul Hadits (Fatchur Rahman), Ilmu
Hadits (Utang Ranuwijaya), Metode Kritik Hadits (kumpulan makalah
pribadi Mushthafa Ali Ya’qub), dll.
Selain buku-buku hasil karangan penulis Indonesia
sendiri, terdapat pula buku-buku terjemahan dari karya-karya yang berbahasa
Arab, seperti Ushul al-Hadits (‘Ajaj al-Khatib), al-Taqrib
(al-Nawawi), Manhaj al-Naqd (Nur al-Din Itr), Ulum al-Hadits
(Shubhi al-Shalih), Taysir (Mahmud al-Thahhan).
Dari kitab-kitab di atas, secara umum dapat
diambil benang merah bahwa karakteristik dari karya-karya Ulum al-Hadits
Indonesia lebih banyak yang bersifat pengantar dari pada pembahasan, apalagi
yang bersifat analisa. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh sebagian buku
tersebut yang dikarang berdasarkan keperluan akademis daripada kebutuhan untuk
memberikan informasi yang utuh tentang Ulum
al-Hadits, sebagaimana yang telah dilakukan oleh ulama Ulum al-Hadits
terdahulu. Lain dari itu, latar belakang pendidikan dari para penulis buku
lebih banyak yang berasal dari non-spesialisasi hadits, karena penunjukkan
mereka hanya sebatas karya ilmiah terakhir, misalnya disertasi yang berhubungan
dengan hadits seperti Syuhudi Ismail, Utang Ranuwijaya, atau juga karena
ditunjuk sebagai pengajar hadits, seperti Mahmud Yunus, Hasbi al-Shiddiqy dan
Fatchur Rahman.
G.
Epilog
Roda zaman yang terus berputar meniscayakan
lahirnya perubahan. Tak terkecuali Ulum al-
Hadits.
Sejarah yang telah
menceritakan kepada kita menjadi buktinya. Bermula dari hanya sebatas metode
yang tak tertulis sampai menjadi Ulum al-Hadits seperti halnya yang kita kenal
saat ini. Ke depan, bukan tidak mungkin akan banyak pembaharuan-pembaharuan
dalam bidang ini. Satu hal yang menarik, bahwa catatan sejarah dan dalam
berbagai disiplin ilmu, banyak mengabadikan nama-nama ulama yang secara wilayah
kelahiran dan asal-usulnya bukan dari Bangsa Arab. Dalam makalah ini, nama
al-Qadhi Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi al-Irani (360 H) dan Syaikh Mahfudz
al-Turmusi al-Indunisy cukuplah sebagai representasi dari sebagian ulama-ulama
non-Arab itu. Sejalan dengan kaidah yang mengatakan ‘la fadhla ‘arabiyyin
‘ala a’jamiyyin’. Dari itu mudah-mudahan, dengan mengetahui nama-nama dan
mengetahui sejarah perjalanan dan pengabdian mereka terhadap ilmu-ilmu agama,
dapat memberikan suntikan semangat kepada kita, sebagai bagian dari ‘ajamiyyin
untuk terus berbuat dan berkarya. Wa Allah al-Musta’an.
Daftar Pustaka
Dede
Rodliyana, Muhammad.
“Perkembangan Literatur Ulum al-Hadits dan Pengaruhnya di Indonesia” Tesis S2 Magister Agama Islam Program
Pascasarjana, Universitas
Islam Negeri Jakarta, 2003.
Ibn al-Shalah, Abu Amr. Ulum al-Hadits, ed.
Nur al-Din Itr. Madinah:
Maktabat al-Ilmiyyah, 1972.
‘Itr, Nur al-Din. Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr , 1997.
Shiddieqy, Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu
Dirayah Hadits. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Thahhan, Mahmud. Taysir Mushtholah al-Hadits. Pustaka Thariqul Izzah.
http://tsuroyya.wordpress.com/2008/03/19/sejarah-perkembangan-dan-cabang-cabangnya-pengertian-dan-kitab-kitabnya-yang-terkenal/
. 1. ‘Ilmu al-Hadits Riwayah adalah Ilmu yang mangetahui
perkataan, perbuatan takrir dansifat-sifat Nabi. Dengan kata lain ilmu hadist
riwayah adalah ilmu yang membahas segala sesuatu yang datang dari Nabi baik
perkataan, perbuatan, ataupun takrir. 2. ‘Ilmu Hadist Dirayah
adalah Ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal
sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadist dan sifat-sifat rawi.
Oleh karena itu yang menjadi objek pembahasan dari ilmu hadist dirayah adalah
keadaan matan, sanad dan rawi hadist.
http://tsuroyya.wordpress.com/2008/03/19/sejarah-perkembangan-dan-cabang-cabangnya-pengertian-dan-kitab-kitabnya-yang-terkenal/
Muhamad Dede Rodliyana,
“Perkembangan Literatur Ulum al-Hadits dan Pengaruhnya di Indonesia, “ Tesis S2
Magister Agama Islam Program Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta,
2003. hal. 118-119
Ibid., hal. 119