Assalamu 'alaikum wr. wb.

Jumat, 09 Januari 2015

Perang Itu Namanya Ghazwul Fikri

Perang. Siapa yang suka perang? Normalnya manusia tidak suka. Apalagi kaum ibu. Tapi ada saja pihak-pihak yang dengan sengaja mengobarkan perang karena maksud-maksud menguasai pihak-pihak yang ingin dikuasai. Dewasa ini perang tidak hanya menggunakan senjata fisik seperti bedil dan tombak. Dewasa ini perangnya bahkan lebih berbahaya karena yang mengobarkan perang justru menyembunyikan aktifitasnya dengan berbagai bungkus sehingga musuh yang diperangi tidak sadar sedang diperangi. Tujuannya tetap sama, yaitu mengalahkan dan menguasai musuh, hanya caranya yang berubah drastis.

Perang yang kita bicarakan ini adalah yang sangat konsepsional, sangat luas bidangnya, sangat lihai dalam memilih cara sehingga tidak disadari musuh, sangat jauh dampaknya kepada jiwa lawan dan sangat lama masa berlangsungnya. Ghazwul Fikri. Secara bahasa artinya perang pemikiran. Ada yang mengistilahkan dengan perang urat syaraf.
Perang ini baru muncul sekitar awal abad duapuluh dan merupakan upaya musuh-musuh untuk menjatuhkan kekuatan Islam secara tuntas. Ghazwul fikri dilaksanakan dengan cara melakukan dua tipudaya dasar yang disusupkan dalam fikrah (pemikiran) ummat Islam. Tiga tipudaya tersebut adalah takhwif (usaha untuk menimbulkan rasa takut kepada selain Allah), dan tadl-lil (usaha pengkaburan berbagai konsepsi dalam fikrah Islami). Adapun bentuk-bentuk upayanya dapat sangat beragam, antara lain:
- dengan berbagai opini sesat di media dan di tengah masyarakat muslim
- melalui film, sandiwara, pertunjukan seni, maupun lirik-lirik lagu yang dikemas indah
- melalui berbagai bentuk fiksi baik fiksi murni, fiksi ilmiah, cerita komik, cerita drama sampai cerita anak
- melalui berbagai sandiwara politik dan peristiwa seperti sandiwara Holocaust dimasa Perang Dunia II dan lain-lain
- melalui berbagai acara ilmiah yang mempertontonkan berbagai kecanggihan militer dan intelijen mereka
- melalui penyebaran berbagai adat kebiasaan non-Islam yang dipromosikan dan dikemas dengan berbagai keindahan dan kemeriahan
Mungkin masih banyak lagi cara-cara dan media perang mereka yang kita belum tahu, namun intinya tetap sama. Ini perang sungguhan dan ini perang yang curang.
Kecurangan yang paling nyata adalah dalam cara mereka bersembunyi ketika menyerang. Berbagai film-film menarik yang bahkan dinobatkan (oleh mereka sendiri) sebagai film-film terbaik, ternyata di dalam film itu ada berbagai propaganda anti Islam yang menusuk.
Promosi berbagai perayaan adat jahiliyah yang dikemas sedemikian rupa sebagai “warisan pelecehan terhadap nilai-nilai tinggi Islam. Misalnya di Mesir, digencarkan promosi kebudayaan Mesir kuno zaman Fir’aun, lengkap dengan segala atributnya dan berbagai upacara penyembahan berhala, itu semua bertujuan tersembunyi agar masyarakat Mesir yang kini Muslim mulai meninggalkan nilai-nilai Islam dan kembali bangga dengan nilai-nilai zaman Fir’aun.
Cobalah simak program-program sebuah channel tv khusus tentang berbagai kebudayaan dari tv berlangganan. Bahkan cd-cdnya dijual di toko cd. 
Lalu untuk apa rubrik ini membicarakannya? Agaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa justru perang itu (Ghazwul Fikri) sangat tidak disadari di negeri ini. Para penjaga Benteng Terakhir negeri ini (baca: kaum ibu) apakah sadar bahwa setiap hari mereka dicekoki racun-racun Ghazwul Fikri lewat kotak kaca yang menjadi hiburan wajib setiap rumahtangga? Apakah para Penjaga Benteng Terakhir masih saja rela membelikan racun telinga dan jiwa bagi putra-putri mereka yang berbentuk berbagai format lagu, yang seolah wajib kini selalu hadir menghiasi pendengaran putra-putri kita dua-puluh-empat jam? 24 jam? Ya! Tidak jarang putra-putri kita belajar sampai tertidur tetap memasang alat mantra tersebut ke kuping mereka!

Mantra! Memang seperti mantra, boleh jadi lagu yang dipasang langsung ke telinga dapat mempengaruhi jiwa anak kita lewat kata-kata yang terdengar maupun tidak terdengar dari lagu tersebut. Efeknya bisa sampai seperti mantra. Seperti orang terhipnotis. Masih ingat fenomena Kurt Cobain musisi metal dari ujung Utara bumi yang membuat lagu tentang bunuh diri dan kemudian melaksanakannya? Kemudian jejak langkahnya diikuti oleh beberapa orang penggemarnya. Tersihir!
Tahukah para Penjaga Benteng Terakhir bahwa brainwashing atau cuci otak dapat terjadi dengan cara seseorang terus menerus mendengarkan kata-kata yang sama berulang-ulang, yang apalagi jika dikemas dengan nada-nada musik dan dentingan alat musik akan semakin memperkuat efeknya karena akan masuk ke bagian otak yang tanpa nalar? Jika seseorang sudah gandrung dengan suatu lagu, niscaya dia akan mendengarkannya berulang-ulang dan tak jarang mendengarkannya sambil sangat relaks yang berarti masuk ke tingkat kesadaran yang bisa dengan mudah disurupi jin?
Tanyakan pada para ahli ruqyah syar’iyyah (para terapis yang mempunyai ketrampilan mengobati orang kesurupan). Apakah para ibu muslimah dan para remaja penikmat lagu selalu mengerti apa yang dinyanyikan dalam lirik lagu kegemaran mereka? Banyak sekali yang mengaku tidak memperhatikan makna lagu, yang penting enak mengelus gendang telinga, meskipun kadang sebenarnya mudah saja mempelajari lirik lagu tersebut, tapi jarang yang secara serius mencoba mencari apa makna sebenarnya. Paling jauh sebagian besar penikmat lagu hanya mengingat arti dari bagian-bagian tertentu dari lagu tersebut, terutama kalau dianggap cocok. Misalnya refrain yang meneriakkan kata-kata pujian cinta atau patah hati.
Di era menjelang tahun 80-an, era kami-kami yang kepala empat masih remaja, ada lagu dari sebuah grup musik Queen yang berjudul Bohemian Raphsody. Lagu yang diteriakkan oleh Freddy Mercury yang minta disuntik mati karena AIDS tersebut, seluruh isinya adalah pelecehan terhadap nilai-nilai Islam, bahkan sampai penolakan atas takdir (“ sometimes ‘ wished I’ve never been born before”). Lagu ini dulu termasuk Hit, bahkan bertahan masih digemari hingga kini.
Masih ingat lagu berbahasa spanyol yang sempat ketahuan ternyata berbicara tentang iblis? Grup musik Last Ketchup yang melantunkan lagu tersebut bahkan mengakui tak faham isi lagunya karena berbahasa kuno. Itu mantra setan!
Masih-kah para Penjaga Benteng Terakhir merasa masa kini sudah tak ada lagi perang dan karenanya boleh bersantai dalam menjaga bentengnya? Masihkah kita menyangka bahwa zaman sudah berubah dan kini musuh-musuh Islam sudah beristirahat dari memerangi kita? Lihatlah ke sekeliling, dan lihatlah dengan teliti. Wallahua’lam.

Oleh: Tim kajian dakwah alhikmah


Perkembangan Ulum al-Hadits ; Dalam Bentang Sejarah


      A.      Prolog
Ulum al-hadits adalah salah satu bidang ilmu yang penting dalam Islam. Mempelajarinya adalah fardhu al-kifayah bagi kaum muslimin. Dengan hadits sebagai objek kajiannya, disiplin ilmu ini menjadi hal yang urgen untuk dipelajari. Sebagaimana diketahui, dalam tasyri’ al-islamy, hadits adalah sumber hukum yang kedua setelah al-Quran. Pun, penerimaan hadits sebagai sumber ajaran dan hukum Islam merupakan bentuk realisasi keimanan kepada Nabi Muhammad Saw., selain karena hadits itu sendiri yang menurut Muhammad ‘Ajaj al-Khatib minimal mempunyai tiga fungsi terhadap al-Quran[1]: Pertama: Menegaskan kembali keterangan atau perintah yang terdapat di dalam al-Quran, atau yang dikenal juga dengan bayan taqrir, dalam hal ini hadits datang sebagai keterangan atau perintah yang sejalan dengan kandungan ayat al-Quran.[2] Kedua: Menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang datang secara mujmal, ‘am, dan muthlaq.[3] Ketiga: Menetapkan hukum-hukum yang tidak ditetapkan oleh al-Quran, atau yang disebut juga dengan bayan tasyri’ seperti hadits Nabi yang menetapkan haramnya binatang buas dan penetapan beberapa diyat.[4]
Dari itu, mengingat pentingnya Ulum al-Hadits, penulis mencoba untuk menjawab pertanyaan-   pertanyaan seputar ilmu ini, seperti sejak kapan istilah ini mulai dikenal? Apakah ia sudah ada seiring adanya hadits-hadits Rasulullah Saw.? Siapa pencetus pertamanya? Bagaimana perkembangannya sampai kita mengetahuinya seperti keadaannya sekarang? Penulis berusaha merangkum itu semua dalam makalah yang kami beri judul ‘Perkembangan Ulum al-Hadits; Dalam Bentang Sejarah.’

B.        Munculnya Ulum al-Hadits
Di tiga abad pertama Islam belum dikenal dengan apa yang dinamakan Ulum al-Hadits, belum juga istilah-istilah lain yang semakna.[5] Namun pada dasarnya, Ulum al-Hadits telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadits di dalam Islam, terutama setelah Rasulullah Saw. wafat, ketika umat merasakan perlunya menghimpun hadits-hadits Rasulullah Saw. Hal ini disebabkan adanya kekhawatiran hadits-hadits tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadits. Mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu dalam menerima hadits, hanya saja kaidah-kaidah dan metode-metode itu belum dibukukan.[6] Kehati-hatian dalam menerima hadits ini sudah ada ketika Rasulullah Saw. masih hidup, seperti apa yang dilakukan oleh Umar Ra. ketika mendengar orang yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah menceraikan isteri-isterinya, atau metode meminimalisir periwayatan dengan cara meminta saksi terhadap orang yang meriwayatkan hadits yang terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq Ra., Umar Ibn al-Khattab Ra., dan Utsman Ibn Affan Ra.. Bahkan pada masa Ali Ra. Selain meminta saksi, beliau juga meminta orang yang meriwayatkan hadits untuk bersumpah.
Kehati-hatian ini kian meningkat seiring munculnya kasus-kasus pemalsuan hadits dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Diantara hal yang dilakukan itu adalah dengan membahas sanad hadits serta penelitian terhadap keadaan setiap para perawi. Aktivitas ini terlihat dari penjelasan Muhammad Ibn Sirin, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam muqaddimah kitab Shahihnya yang mengatakan bahwa para ulama hadits sebelumnya tidak pernah mempertanyakan tentang keadaan sanad hadits, namun setelah terjadi peristiwa fitnah antara Ali dengan Muawiyah, maka mulailah para ulama hadits mempertanyakan tentang itu. Mereka tidak akan menerima hadits kecuali dari orang yang dipercaya agamanya dan diyakini akan hapalan dan pemeliharaannya terhadap hadits yang diriwayatkannya. Sebaliknya, jika orang-orang yang meriwayatkan hadits itu adalah ahli bid’ah, maka mereka tidak mengambilnya.[7]
Berdasarkan hal ini, maka suatu berita tidak bisa diterima kecuali setelah diketahui sanad-nya. Karena itu muncullah ilmu jarh wa ta’dil, ilmu mengenai ucapan para perawi, cara untuk mengetahui bersambung (muttashil) atau terputusnya (munqathi’) sanad, mengetahui cacat-cacat yang tersembunyi. Muncul pula ucapan-ucapan (sebagai tambahan dari hadits) sebagian perawi meskipun sangat sedikit karena masih sedikitnya para perawi yang tercela pada masa-masa awal.
Kemudian para ulama dalam bidang itu semakin banyak, hingga muncul berbagai pembahasan di dalam banyak cabang ilmu yang terkait dengan hadits, baik dari aspek ke-dhabithan-nya, tata cara menerima dan menyampaikannya, pengetahuan tentang hadits-hadits yang nasikh (menghapus) dari hadits-hadits yang di mansukh (dihapus), pengetahuan tentang hadits-hadits yang gharib (asing/menyendiri), dan lain-lain. Semua itu masih disampaikan ulama secara lisan. Lalu, masalah itu semakin berkembang. Lama kelamaan ilmu hadits ini mulai ditulis dan dibukukan, akan tetapi masih terserak diberbagai tempat di dalam kitab-kitab lain yang bercampur dengan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu ushul fiqh. Contohnya  dalam kitab Ar-Risalah.[8]
Seiring bertambahnya waktu, akhirnya, ilmu-ilmu itu semakin matang, mencapai puncaknya dan memiliki istilah tersendiri yang terpisah dengan ilmu-ilmu lainnya. Ini terjadi pada abad keempat hijriyah disaat para ulama menyusun ilmu musthalah dalam kitab tersendiri.

C.         Pengertian Ulum al-Hadits dan Pembagiannya
             Ulum al-Hadits adalah jumlah idhofiyyah. Berasal dari dua kalimah, ulum dan al-hadits. Secara etimologi ulum adalah bentuk jama’  dari ‘ilmu artinya pengetahuan. Sedangkan al-hadits berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan dari kata al-Qadim (sesuatu yang lama), juga bermakna khabar (kabar atau berita),[9] bentuk jama’nya adalah al-ahadits. Adapun menurut terminologi, ulama ahlu al-hadits, ahlu al-ushul dan fuqaha memberikan pengertian yang berbeda-beda.
                Ahlu al-Hadits mendefinisikan hadits sebagai, “Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi.”[10] Menurut istilah ahlu al-ushul, hadits adalah, “Segala sesuatu yang dikeluarkan dari Nabi selain al-Quran al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqriri Nabi yang bersangkut paut dengan hukum syara.”[11] Sedangkan menurut para fuqaha, hadits mempunyai arti, “Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi Saw. yang tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.” [12]
Dari pengertian diatas, dapat diartikan bahwa makna dari ulum al-hadits adalah, “Ilmu untuk mengetahui tentang apa yang telah dimufakati oleh ahli hadits dan telah lazim dipergunakan dalam pembahasan di antara mereka,” atau “Ilmu untuk mengetahui ‘uruf pada muhadditsin.”[13]
Adapun pembagiannya, secara garis besar Ulum al-Hadits ini dipecah kepada dua macam yaitu: ‘Ilmu al-Hadits Riwayah dan ‘Ilmu al-Hadits Dirayah.[14]Ilmu al-Hadits Dirayah membahas hadits dari segi diterima atau tidaknya, sedang ‘Ilmu al-Hadits Riwayah membahas materi hadits itu sendiri. Diantara ulama ada yang menamakan ‘Ilmu al-Hadtis dengan ‘Ilmu Usul al-Hadist atau ‘Ilmu Musthalah al-Hadist. Dan dalam perkembangan berikutnya telah lahir berbagai cabang ilmu hadits.

D.        Ulumul Hadits dari Masa ke Masa
Layaknya sunnah alam lainnya, Ulum al-Hadits juga mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Bila Nur al-Din ‘Itr membagi perkembangan Ulum al-Hadits dari permulaan penyusunannya sampai sekarang menjadi tujuh tahap[15] dan Muhammad Dede Rodliyana dalam tesisnya membagi perkembangannya menjadi tiga periode,[16] maka kami mencoba membaginya menjadi tiga masa.
Pertama: Masa kenabian sampai akhir abad ke III HIjriyah.
Pada masa kenabian, Ulum al-Hadits telah muncul lewat kegiatan nabi dan para sahabatnya. Dalam kegiatan transformasi hadits, mereka melakukannya dengan teliti dan hati-hati dengan cara memperhatikan sanad dan matan, lebih-lebih ketika mereka mempunyai keragu-raguan tentang transformator. Fenomena tersebut dilanjutkan oleh tabi’in dan para pengikut tabi’in yang pada masa ini telah muncul apa yang diungkapkan oleh Ibnu Sirin yang tertera dalam Muqaddimah Shahih Muslim “Mereka tidak menanyakan isnad, maka ketika timbul fitnah mereka berkata: sebutkan pada kami tokoh-tokoh kalian, bila mereka ahlu al-sunah maka mereka mengambil haditsnya dan bila melihat ahli bid’ah maka mereka tidak mengambil hadits ahli bid’ah tersebut”.[17]
Dalam studi Ulum al-Hadits akan ditemukan juga bahwa para ulama telah membuat periodisasi dalam pembukuan hadis (tadwin al-hadits), yaitu pertama: Periode al-Wahyu wa al-Takwin, yakni periode pembentukan hadits, dimulai sejak zaman Nabi Muhammad Saw. diangkat menjadi Rasul samapai beliau wafat (610-632M/11H). Kedua: Periode Taqlil al-Riwayah, yaitu periode meminimalisir periwayatan hadits, dimulai sejak Rasulullah Saw. wafat (632M/11H) sampai pemerintahan Umar bin Khattab Ra. (632-644M/13-23H). Ketiga: Periode Intisyar al-Riwayah, yaitu periode tersebarnya hadits, dimulai sejak pemerintahan Utsman bin Affan Ra. (644-656M/23-35H) sampai masa pemerintahan Khalifah Bani Umayah sebelum Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M/99-101H). Kempat: Periode Tadwin, yaitu periode pembukuan hadits, dimulai sejak pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (717-720M/99-101 H). Kelima: Periode Tanqih , yaitu periode penyeleksian terhadap hadits yang dipelopori oleh Imam al-Bukhari (194-256H) dan keenam periode Syarah, yaitu periode penjelasan atas kitab-kitab hadits hasil tanqih[18].
Sampai akhir abad ke III ini, walaupun norma-norma umumnya telah muncul sejak adanya usaha pengumpulan dan penyeleksian hadits oleh masing-masing penulis hadits,  belum ditemukan satu kitab yang berisi pembahasan Ulum al-Hadits secara komprehensif sampai nanti tibanya abad ke IV H.
Kedua: Abad ke IV Hijriyah sampai Abad ke IX Hijriyah
Ulum al-Hadits yang juga populer dengan sebutan Mushthalah al-Hadits secara komprehensif, disusun tanpa dicampur dengan disiplin ilmu lainnya, pertama kali dibuat oleh al-Qadhi Abu Muhammad al-Ramahurmuzi (wafat 360 H.). Karya monumental ini berjudul al-Muhaddits al-Fashil baina al-Rawi wa al-Waqi’. Dalam kitabnya itu, al-Ramahurmuzi menghimpun sebanyak 904 riwayat,[19] yang diriwayatkannya dari sekitar 200 gurunya dengan sistematika penulisan yang dibagi menjadi 16 bab dan terpecah-pecah lagi ke beberapa qawl, fashal dan mas’alah.[20] Dan secara umum, pembahasan Ulum al-Hadits yang ditawarkan al-Ramahurmuzi sebagaimana yang dikritik oleh Ibnu Hajar yaitu masih sangat terfokus terhadap kajian sanad, dengan sedikit kajian matan. Kecendrungan itu dibuktikan dengan banyaknya pembahasan tentang sifat dan keadaan para periwayat. Selain itu, dalam kitab tersebut, tidak menjelaskan secara khusus tentang pembagian hadits, baik dari segi kuantitas atau dari segi kualitas.
Di akhir abad ke IV hingga abad ke V Hijriyah, secara urut lahirlah beberapa karangan Ulum al-Hadits, seperti kitab Ma’rifat Ulum al-Hadits (al-Hakim Abu Abdulllah al-Naysaburi, 405 H.), al-Mustkhraj ala Ma’rifat Ulum al-Hadits (Abu Nu’aim al-Ashfahani, 430 H.), dan al-Jami’  li Adabi asy-Syaikh wa as-Sami’  (al-Khatib Abu Bakar al-Baghdadi, 463 H.) Dari semua karangan yang ada ini, walau belum terlalu banyak perubahan dalam sistematika penyusunannya, lahir istilah yang sama sekali belum ada dalam literatur awal seperti definisi tentang shahabat, tabi’in, riwayat mauquf, mu’dhol, mu’an’an, munqathi’, dll.[21]
Lalu lahirlah Al-Ilma’ ila Ma’rifah Ushul al-Riwayah wa Taqyid al-Sima’I yang disusun oleh Al-Qadhi ‘Iyadh (544 H). Kitab ini belum mencakup seluruh pembahasan Ulum al-Hadits, bahkan hanya terbatas pada persoalan yang berhubungan dengan tata cara penerimaan dan penyampaian hadits dan cabang-cabangnya, akan tetapi sangat bagus sekali bab pembahasan dan sistematika serta urutan-urutannya.
Abad ke VII Hijriyah sosok Abu Amr Ibn Utsman Ibn Shalah (643 H.) yang menjadi pemeran utama sekaligus bintangnya ulama Ulum al-Hadits abad itu. Karyanya yang berjudul Ma’rifah Ulum al-Hadits atau yang lebih populer dengan nama Muqaddimah Ibnu Shalah, dianggap sebagai karya terbesar dalam bidang Ulum al-Hadits. Kitab yang disusun atas dasar keperluan mengajar di Madrasah al-Asyrafiyyah Damaskus tersebut mencakup keterangan-keterangan yang terdapat pada kitab sebelumnya dan mencakup seluruh cabang Ulum al-Hadits. Pemaparan yang sangat baik terlihat ketika menyimpulkan kaidah-kaidah dan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh ulama sebelumnya, pendefinisian dan penguraian yang sangat jelas dan lugas, menjadi kelebihan dari kitab monumental ini.[22]
 Setelah lahirnya Muqaddimah Ibn Salah, karangan-karangan sejenis terus bermunculan. Hanya saja kalau dilihat, karangan-karangan ini lebih banyak men-syarah atau mengomentari atau meringkas kitab-kitab yang sudah ada. Seperti al-Taqrib oleh Imam Nawawi (676 H.)yang merupakan syarah dari Muqaddimah Ibn Salah. lalu al-Taqrib disyarah lagi oleh Imam as-Suyuthi (911 H.) dalam Tadrib al-Rawi. Sebagaimana halnya kitab Muqaddimah Ibnu ash-Sholah ini diringkas oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Ikhtishor Ulum al-Hadits.
Ketiga; Ulum al-Hadits di Masa Modern
Setelah sebelumnya mengalami stagnasi yang cukup lama, yakni dari abad ke X sampai awal abad ke XVI, Ulum al-Hadits mengalami kebangkitan lagi. Lahir karya-karya yang menonjolkan sistematika penyusunan yang sesuai dengan sistematika modern. Hal ini dilatarbelakangi oleh konflik yang terjadi antara Timur dan Barat yang menyentuh tataran teologis, sehingga melahirkan ghirah untuk membahas seputar informasi tersebut guna menyanggah kesalahan dan kedustaan mereka sebagai bentuk mempertahankan keberadaan sunnah. Selain itu adanya tuntutan pembaharuan sistematika penyusunan kitab-kitab Ulum al-Hadits yang lebih komprehensif dan sesuai dengan zamannya.
Pada periode ini, selain munculnya kitab-kitab Ulum al-Hadits, juga muncul kajian Ulum al-Hadits secara khusus, yang lebih menitikberatkan pada pemikiran, baik yang berkaitan dengan sejarah, metode, kritik, atau pertahanan terhadap berbagai tuduhan yang dilontarkan untuk menilai sunnah.
Pemikiran Ulum al-Hadits pada periode ini dimulai dengan munculnya tokoh Jamal al-Din al-Qasimi yang menyusun Qawa’id al-Tahdits min Funun Mushtholah al-Hadits, kemudian Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mushtholahuhu oleh Muhammad ‘Ajaj bin al-Khatib, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits oleh Nur al-Din Itr, Taysir Mushtholah al-Hadits oleh Mahmud al-Thahhan, Ulum al-Hadits wa Mushtholahuhu karya Subhi al-Shalih, Qawa’id Ushul al-Hadits karya Umar Hasyim, Mafatih Ulum al-Hadits wa Thuruq Takhrijuh karya Muhammad Utsman al-Khasysyit.

E.         Cabang-cabang Ulum al-Hadits
Sebagaimana yang ditetapkan oleh disiplin Ulum al-Hadits bawa hadits tidak akan diterima kecuali setelah sanad di ketahui, maka muncul beberapa Ulum al-Hadits yang merupakan cabang-cabang dari Ulum al-Hadits, diantaranya:
1. Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil:[23] ilmu yang membahas tentang hal ihwal keadilan dan tidak adilnya para periwayat. Dari para sahabat yang banyak mengkaji ilmu ini adalah seperti Ibnu Abbas (w. 68 H.), Ubadah bin Shamit (w. 34 H.), dan dari tabi’in seperti al-Sya’bi (w. 104 H.).  Akan tetapi mula-mula penulisan tentang karya ilmu ini ketika masuk abad ketiga hijriyah sebagaimana dilakukan oleh Yahya ibnu Muin (w. 233 H.), Ahmad bin Hambal (w. 241 H.), al-Bukhari (w. 256 H.), Muslim (w. 261 H.), Abu Dawud (w. 275 H.), al-Nasa’i (w. 303 H.)
2.  Ilmu Ma’rifat al-Shahabah; yaitu ilmu yang bisa mengetahui hadits muttashil dan mursal seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar Ahmad bin Abdullah bin Abdu al-Rahim bin Said Ibnu al-Barqi (w. 270 H.), Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Isa al-Marwazi al-Syafi’i (w. 293 H.)
3.  Ilmu Sejarah Rawi, yaitu ilmu untuk mengetahui sejarah para periwayat hadits dan hal ihwalnya. Demikian seperti kitab al-Tarikh al-Kabir karya al-Bukhari.
4.  Ilmu Ma’rifat al-Asma’ wa al-Kuna wa al-Alqab; yaitu yang untuk mengetahui nama, kuniah, dan laqab para periwayat seperti yang dilakukan oleh Imam Muslim, al-Nasa’i, dan Ahmad bin Hambal.
5.  Ilmu Muhtalaf al-Hadits; yaitu penyelarasan antara hadits yang dhahirnya bertentangan. Orang pertama yang berbicara tentang ilmu ini adalah Imam As-Syafi’i.
6.  ilmu Ma’rifat Gharib al-Hadits; ilmu yang menjelaskan makna-makna sebagian kalimat yang tidak jelas yang dilakukan oleh Abu Ubaidah Muammar bin al-Mutsanna al-Tamimi (w. 210 H.) dan Abu Ubaid al-Qosim Ibn al-Salam (w. 224 H.)
7.  ilmu Ma’rifat Ilal al-Hadits; illat adalah ibarat tentang sebab yang tidak jelas dan merusak keabsahan hadits. Kadangkala illat ini dimaksudkan dengan makna yang tidak sesuai dengan terminologinya seperti masalah dusta periwayat, kelalaian dan hafalan yang tidak baik dari periwayat. ahli hadits yang mengkaji masalah ini diantaranya Imam bin Hambal, al-Bukhari, Muslim dan al-Tarmidzi.
8.  al-Masyikhat; yaitu mencakup para syaikh yang ditemui oleh pengarang kitab yang mana beliau telah mengambil dari mereka dan memberi ijazah kepadanya meski dia tidak bertemu mereka, sebagaimana karya Abi Yusuf Ya’kub bin Sufyan Ibnu Hibban (w. 277 H.).
9.   al-Thabaqat; ilmu yang mencakup tentang para syaikh, hal-ihwalnya dan periwatannya dari masa ke masa hingga masa pengarang kitab seperti “Thabaqat al-Ruwat” karya Abu Amr Khalifah bin Khayyath (w. 230 H.).
10.  Ilmu Rijal al-Hadits, yaitu ilmu yang membahas tokoh-tokoh yang berperan dalam periwayatan hadits.
11. Ilmu Fan al-Mubhamat, yaitu ilmu yang membahas tentang orang-orang yang tidak nampak peranannya dalam periwayatan suatu hadits.
12.  Ilmu Tashif wa al-Tahrif, yaitu ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang berubah titik atau bentuknya.
13.  Ilmu Asbabi Wurudil Hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang sebab timbulnya suatu hadits.
Pada dasarnya ilmu hadits itu mencakup berbagai macam cabang ilmu yang mencapai seratus macam dan tiap satu macam mempunyai disiplin ilmu yang independen. Oleh karena itu, apabila seorang pengkaji menghabiskan usianya niscaya tidak akan menggapai akhirnya.

F.         Perkembangan Ulum al-Hadits di Indonesia; Adakah?
Melacak perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, tidak akan bisa dipisahkan dari perkembangan hubungan antara umat Muslim di Kepulauan Nusantara ini dengan pusat pendidikan Islam di Timur Tengah, khususnya pada abad ke-17 dan ke-18 yang merupakan masa yang paling dinamis dalam sejarah sosio-intelektual kaum Muslim.[24] Disamping itu perkembangan selanjutnya yang cukup penting adalah sejak pertengahan abad ke-19 tersebut, banyak sekali anak-anak muda Indonesia yang tinggal menetap bertahun-tahun di di Makkah dan Madinah untuk memperdalam pengetahuan agama mereka. Bahkan diantaranya menjadi ulama yang terkenal dan mengajar disana. Oleh karenanya sekembali mereka ke tanah air, apa yang telah mereka dapatkan dan pelajari, diamalkan dan disebarkan di Nusantara. Pada akhir abad ke-19 terdapat beberapa ulama kelahiran Jawa yang diakui kebesarannya di Timur Tengah. Mereka belajar, menetap, kemudian menjadi pengajar di Masjid al-Haram di Makkah, seperti Syaikh Nawawi al-Bantani (Banten) dan Syaikh Mahfudz al-Turmusi (Tremas).
Tak terkecuali dengan perkembangan pemikiran Ulum al-Hadits di Indonesia. Peran pengaruh pendidikan ulama Indonesia di Timur Tengah sangat signifikan, khususnya mereka yang menetap di haramayn,[25] akan tetapi dalam disiplin Ulum al-Hadits, harus diakui, karya-karya yang dihasilkan oleh ulama-ulama Indonesia masih sangat sedikit, sehingga untuk melacak informasi kekuatan dan pemikiran Ulum al-Hadits di Indonesia cukup sulit.  Sampai awal abad ke-20 hanya ada karya Syaikh Mahfuzh yaitu Manhaj Dzawi al-Nazhar, yang merupakan kitab syarh terhadap karya al-Suyuthi yaitu Manzhumah Ilm al-Atsar.
Karya yang dibuat oleh Syaikh Mahfuzh ini menjadi awal lahirnya karya-karya lain di bidang Ulum al-Hadits. Setelah itu bermunculan kitab-kitab seperti ‘Ilm Mushthalah al-Hadits (Mahmud Yunus, w. 1973 M.), Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits/Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits (Muhammad Hasby al-Shiddiqy, w. 1975 M.), Ilmu Mushthalah Hadits (A. Qadir Hasan, w. 1984 M.), Pengantar Ilmu Hadits/Metodologi Penelitian Hadits/ Kaidah Kesahihan Sanad Hadits/Hadits Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsuannya  (Muhammad Syuhudi Ismail, w. 1997 M.), Ikhtishar Mushthalahul Hadits (Fatchur Rahman), Ilmu Hadits (Utang Ranuwijaya), Metode Kritik Hadits (kumpulan makalah pribadi Mushthafa Ali Ya’qub), dll.[26]
Selain buku-buku hasil karangan penulis Indonesia sendiri, terdapat pula buku-buku terjemahan dari karya-karya yang berbahasa Arab, seperti Ushul al-Hadits (‘Ajaj al-Khatib), al-Taqrib (al-Nawawi), Manhaj al-Naqd (Nur al-Din Itr), Ulum al-Hadits (Shubhi al-Shalih), Taysir (Mahmud al-Thahhan).[27]
Dari kitab-kitab di atas, secara umum dapat diambil benang merah bahwa karakteristik dari karya-karya Ulum al-Hadits Indonesia lebih banyak yang bersifat pengantar dari pada pembahasan, apalagi yang bersifat analisa. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh sebagian buku tersebut yang dikarang berdasarkan keperluan akademis daripada kebutuhan untuk memberikan informasi yang utuh tentang Ulum al-Hadits, sebagaimana yang telah dilakukan oleh ulama Ulum al-Hadits terdahulu. Lain dari itu, latar belakang pendidikan dari para penulis buku lebih banyak yang berasal dari non-spesialisasi hadits, karena penunjukkan mereka hanya sebatas karya ilmiah terakhir, misalnya disertasi yang berhubungan dengan hadits seperti Syuhudi Ismail, Utang Ranuwijaya, atau juga karena ditunjuk sebagai pengajar hadits, seperti Mahmud Yunus, Hasbi al-Shiddiqy dan Fatchur Rahman.[28]

G.       Epilog
Roda zaman yang terus berputar meniscayakan lahirnya perubahan. Tak terkecuali Ulum al-
Hadits. Sejarah yang telah menceritakan kepada kita menjadi buktinya. Bermula dari hanya sebatas metode yang tak tertulis sampai menjadi Ulum al-Hadits seperti halnya yang kita kenal saat ini. Ke depan, bukan tidak mungkin akan banyak pembaharuan-pembaharuan dalam bidang ini. Satu hal yang menarik, bahwa catatan sejarah dan dalam berbagai disiplin ilmu, banyak mengabadikan nama-nama ulama yang secara wilayah kelahiran dan asal-usulnya bukan dari Bangsa Arab. Dalam makalah ini, nama al-Qadhi Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi al-Irani (360 H) dan Syaikh Mahfudz al-Turmusi al-Indunisy cukuplah sebagai representasi dari sebagian ulama-ulama non-Arab itu. Sejalan dengan kaidah yang mengatakan ‘la fadhla ‘arabiyyin ‘ala a’jamiyyin’. Dari itu mudah-mudahan, dengan mengetahui nama-nama dan mengetahui sejarah perjalanan dan pengabdian mereka terhadap ilmu-ilmu agama, dapat memberikan suntikan semangat kepada kita, sebagai bagian dari ‘ajamiyyin untuk terus berbuat dan berkarya. Wa Allah al-Musta’an.



Daftar Pustaka
Abu al-Ainain, Badran. al-Hadits al-Nabawi al-Syarif Tarikhuhu wa Mushthalahatuhu. Iskandariyah, Muassasah Syabab al-Jami’ah, 1983.

‘Ajaj al-Khatib, Muhammad.  al-Sunnah qabla al-Tadqin. Kairo: Maktabah Wahbah
, 1975.

-------- Hadits Nabi Sebelum dibukukan, penerjemah. AH. Arkom F. . Jakarta: Gema Insani Press,  Cet. I., 1999.

--------Ushu al-Hadits; Pokok-Pokok Ilmu Hadits. Penerjemah M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. II, 2001.

Azra, Azyumardi.  Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII.  Bandung: Mizan, Cet I, 1994.

Dede Rodliyana, Muhammad. “Perkembangan Literatur Ulum al-Hadits dan Pengaruhnya di IndonesiaTesis S2 Magister Agama Islam Program Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003.

Ibn Manzhur, Muhammad.  Lisan al-Arab, 1992, juz II.

Ibn al-Shalah, Abu Amr.  Ulum al-Hadits, ed. Nur al-Din Itr. Madinah: Maktabat al-Ilmiyyah, 1972.
 ‘Itr, Nur al-Din.  Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr , 1997.
Shiddieqy, Hasbi.  Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Thahhan, Mahmud. Taysir Mushtholah al-Hadits. Pustaka Thariqul Izzah.
http://tsuroyya.wordpress.com/2008/03/19/sejarah-perkembangan-dan-cabang-cabangnya-pengertian-dan-kitab-kitabnya-yang-terkenal/






[1] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushu al-Hadits; Pokok-Pokok Ilmu Hadits. Penerjemah M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. II, 2001), hal. 39.
[2] Sejalan dengan kandungan al-Quran, baik dari segi keumumannya maupun perinciannya, seperti keterangan Rasulullah Saw. mengenai kewajiban shalat, puasa, zakat dalam hadits “buniya al-Islam ala khamsin…” yang berfungsi sebagai penegasan kembali (men-taqrir) ayat-ayat tentang shalat dan zakat (al-Baqarah: 83), puasa (al-Baqarah: 183) atau haji (Ali ‘Imran: 97)
[3] Ayat mujmal seperti perintah untuk shalat yang tata cara pelaksanaan, waktu pelaksanaannya itu dijelaskan dalam hadits-hadits Rasulullah, berdasarkan perintah Rasulullah, “Shallu kama ra-aitumuni ushalli”. Ayat ‘am misalnya seperti dalam surat al-NIsa: 11 yang menerangkan kewarisan setiap anak terhadap orangtuanya. Lalu di takhsis oleh hadits bahwa keturunan Rasul tidak mewarisi “nahnu ma’asyir al-anbiya la nurats”. Ayat muthlaq contohnya ayat tentang pemotongan tangan pencuri (al-Maidah: 38), yang lalu oleh Rasul batasan pemotongan tangan itu di taqyid hingga pergelangan tangan saja.
[4] Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, hal. 36
[5] Badran Abu al-Ainain, al-Hadits al-Nabawi al-Syarif Tarikhuhu wa Mushthalahatuhu (Iskandariyah, Muassasah Syabab al-Jami’ah, 1983) hal. 12
[6]  Abu Amr Ibn al-Shalah, Ulum al-Hadits, ed. Nur al-Din Itr (Madinah: Maktabat al-Ilmiyyah, 1972), hal. 5-10
[7] Mahmud al-Thahhan, Taysir Mushtholah al-Hadits (Pustaka Thariqul Izzah), hal. 9-10
[8] Di dalam kitab ini akan ditemukan beberapa bagian dari pembahasan Ulum al-Hadits seperti ‘Ila al-hadits, Nasikh dan Mansukh, Mukhtalif al-Hadits, Khabar al-Wahid, Tadlis,al-Riwayah bi al-Ma’na, kedudukan Khabar al-Wahid dalam ber-hujjah. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat di Fihris al-Maudhu’at dalam kitabnya al-Risalah
[9] Muhammad Ibn Mukaram Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, 1992, juz II, hal. 131
[10] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, al-Sunnah qabla al-Tadqin (Kairo: Maktabah Wahbah, 1975), hal. 19)
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Hasbi al-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal. 30-35
[14]. 1. Ilmu al-Hadits Riwayah adalah Ilmu yang mangetahui perkataan, perbuatan takrir dansifat-sifat Nabi. Dengan kata lain ilmu hadist riwayah adalah ilmu yang membahas segala sesuatu yang datang dari Nabi baik perkataan, perbuatan, ataupun takrir. 2. ‘Ilmu Hadist Dirayah adalah Ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadist dan sifat-sifat rawi. Oleh karena itu yang menjadi objek pembahasan dari ilmu hadist dirayah adalah keadaan matan, sanad dan rawi hadist.
[15] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr , 1997), hal. 37
[16] Muhammad Dede Rodliyana,  “Perkembangan Literatur Ulum al-Hadits dan Pengaruhnya di Indonesia, “ Tesis S2 Magister Agama Islam Program Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003. Hal. 26
                [17]http://tsuroyya.wordpress.com/2008/03/19/sejarah-perkembangan-dan-cabang-cabangnya-pengertian-dan-kitab-kitabnya-yang-terkenal/
[18] Muhammad Ajaj Al-Khatib, Hadits Nabi Sebelum dibukukan, penerjemah. AH. Arkom F. (Jakarta: Gema Insani Press,  Cet. I. 1999.), hal. Pengantar Penerbit.
[19] Hasil penelitian Muhammad ‘Ajaj al-Khatib ketika men-tahqiq al-Muhaddits, dapat dilihat dalam Fihris al-Ahadits kitab  al-Muhaddits, hal. 639-651
[20] Dede Rodliyana, Perkembangan Literatur Ulum al-Hadits, hal. 33
[21] Ibid., 38
[22] Ibid., hal. 44-45
[23] Kitab Rijal hadits, yang bersiat umum diantaranya, syiar a’lam an-Nubala’  karya Imam syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin utsan Al-Zahabi (w. 748H/1348M, al-tarikh al-kabir, karya al-Bukhari (w. 256H/ 870M), dan Jarh wa ta’dil, karya Ibn Abu Khatim al-Razi (w. 328H). Kitab Rijal hadits yang bersifat khusupun masih terbagi kedalam beberapa bahasan, ada kitab khusu yang memuat periwayat tingkat sahabat, seperti usud al-Ghabah fi ma’riah as-Sahabah, karya Izuddin Ibn Al-Asir abi Hasan Ali Bin Muhammad al-hizri (w. 630H/1232M). Dan Ishabah i Tamyiz al-Shahabah, karya Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852H/449M). Selain itu ada juga kitab khusus mengurai periwayat yang tsiqah saja. Seperti kitab al-Tsiqat, karya abu Hatim Muhammad bin Amad Hibban Al-Busti (w. 354H/956M) dan kitab Tsiqat, karya Abu Al-Hasan Ahmad bin Abdullah al-‘Ijli (w. 261) dan ada juga khusus membahas periwayat yang dhaif saja.  Diantaranya al-Dhuafa’ wa al-Matrukin, Karya Al-Nasa’i dan Kitab al-dhu’afa , Karya Abu ja’far bin’ Amr al-‘Uqaili (w. 323H).

[24] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, Cet I, 1994), hal. 15 dan 23
[25] Muhamad Dede Rodliyana, “Perkembangan Literatur Ulum al-Hadits dan Pengaruhnya di Indonesia, “ Tesis S2 Magister Agama Islam Program Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003. hal. 118-119
[25] Ibid., hal. 119

[27]  Ibid., hal. 120
[28]  Ibid., hal. 134-135